Apakah ada yang sedang tidak tahu mau melakukan apa? Kita harus tos. Hi5, Kakak. Kita sama. Sa ju tir tau mau tulis apa padahal sa mau sekali tulis sesuatu. Bukan karena blog ini harus diisi tetapi karena blog ini harus mewartakan sesuatu. Hmmmm....
Baca juga: Dakota Fanning dan Rueng Melawan Negara!
Pertama, tentang perjuangan.
Saya, ketika sedang menulis ini, sedang kumpul bersama pasukan Saeh Go Lino. Sintus, Dodo, Adenk, Nathan. Kami sedang menikmati lagu baru MukaRakat. "Nona". Itu lagu bagus sekali. Kami semua suka. Video clip-nya, liriknya, vibe-nya, dan terutama "kami"-nya.
Sa tir tau apakah Lipooz dan kawan-kawan sedang 'berjuang' tentang Indonesia Timur, tetapi percayalah, kami terwakili. Dalam banyak hal, single itu sedang menjelaskan tentang apa saja yang kami alami. Pesta, mau tampil prima di depan nona-nona dorang, gara-gara banyak, dan percaya diri full!
Di luar seluruh hal yang ada di lagu itu, hal di belakang lagu justru menjadi titik pusat obrolan kami. Tentang Lipooz dan perjuangannya.
Baca juga: Lipooz dan MukaRakat dan Percakapan tentang Para Perantau Digital
Saya kenal Lipooz sejak lama. As a person. Sebagai pelaku industri kreatif juga sudah lama. Sa ikut dia pu perjalanan dengan serius. Dengan senang hati juga sebab karyanya selalu membuat saya terkagum-kagum.
Bahwa sekarang dia ada di level yang sangat baik, sa senang matipunya. Apa yang dia (dan MukaRakat) capai saat ini adalah sebuah penjelasan paling terbuka tentang apa yang selalu saya bilang dalam percakapan-percakapan spiritual kami di Saeh Go Lino: KONSISTENSI! Kau hanya bisa tepuk dada kalau kau konsisten. Lain tidak, Kaka! Sintus, Dodo, Adenk, Nathan angguk-angguk. Antara mengerti dan mengantuk. Tipis sekali bedanya. Tapi kita bisa apa?
Kedua, tentang meniru.
Sa lupa siapa yang bilang. Tapi sa ingat samar dia pu kalimat: seniman yang baik adalah yang mampu curi dan bikin lebi!
Kita semua sedang begitu sekarang ini to?
Di masa pandemi ini, semua orang berusaha menjadi kreator konten. Youtube sedang ramai-ramainya dengan pendatang baru. Ramai-ramai bikin konten. Sebagian menjiplak, sebagian menjiplak dan menambahi, sebagian lagi sibuk latihan bikin judul pemancing klik. Mammamia e!
Pada saat-saat tertentu saya seperti sedang menonton sampah-sampah digital. Sekian banyak orang melakukan duplikasi alih-alih replikasi. Sekian banyak media tumbuh. Dan menyampah!
Lalu saya sadar bahwa di tengah situasi seperti ini kita tak bisa apa-apa. Apa yang kau harapkan dari orang-orang yang tidak tahu mengapa mereka dilarang berkumpul?
Ketiga, tentang kita.
Kau mau jadi apa?
Pertanyaan itu mengganggu sekali. Kita mau jadi apa? Kita barangkali bisa menjawab pertanyaan kau mau jadi siapa? Tetapi pertanyaan kau mau jadi apa adalah yang paling sulit dijawab. Jawaban paling normatif akan paling sering muncul: mau jadi diri sendiri. Tentu saja itu jawaban yang bagus kalau tidak ada pertanyaan lanjutan: diri sendiri yang bagaimana?
Sa ingat betul beberapa bagian yang sering sa bilang dulu waktu masih mengajar. Kepada para peserta didik sa minta: tulis di kau pu buku catatan, kau akan jadi apa sepuluh tahun dari sekarang?
Sa kira, pertanyaan itu sedang sa ajukan pada diri sendiri sekarang. Juga pada kita semua. Kaka dorang akan jadi apa sepuluh tahun dari sekarang?
Ini pertanyaan yang penting sekali. Setelah sekian banyak geliat aktivisme yang kau lakukan dengan penuh percaya diri itu, apakah kau yakin suatu saat tidak akan kapitalis? (*)
Salam dari Ruteng
Armin Bell
0 Komentar:
Posting Komentar